Jakarta, Indonesianews.co.id
Sejumlah akademisi menjadi narasumber pada acara Focus Group Discussion (FGD) dengan tema ‘Amandemen UUD 1945 dan Rekonstruksi Sistem Politik Indonesia’ yang diselenggarakan Fakultas FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Selasa (7/12/2021).
Salah satu narasumber, Prof Azyumardi Azra, menegaskan UUD 1945 perlu diamandemen. Ia juga menegaskan perlunya memperkuat kewenangan DPD RI dan penghapusan ambang batas pencalonan presiden atau Presidential Threshold (PT).
“Menurut saya, amandemen (konstitusi) sah dan dimungkinkan. Kita tidak alergi. Amandemen itu boleh dilakukan karena beberapa alasan,” papar Azyumardi Azra.
Alasan pertama, ia melanjutkan, konstitusi bukan kitab suci layaknya Al-quran bagi umat Muslim.
“Konstitusi itu produk akal pikiran, produk budaya. Kedua, Konstitusi itu perlu secara reguler dievaluasi, di-assesment, apalagi setelah diamandemen dalam jumlah signifikan,” ungkap dia.
Bahkan, Azyumardi Azra menyebut sebagian pihak menilai amandemen Konstitusi yang terjadi antara tahun 1999-2002 sudah di luar batas alias kebablasan.
“Maka dari itu perlu untuk diperiksa kembali secara menyeluruh. Menurut saya hal itu penting dilakukan,” papar dia.
Melihat perkembangan politik belakangan ini, Azyumardi Azra menilai memang penting agar Konstitusi untuk dikaji ulang.
“Ketiga, terkait amandemen ini sering kita dengar ada campur tangan asing, terutama mereka yang terlibat pergumulan itu. Ada lembaga Nasional Democratic Institute. Kabarnya ada uang yang ikut bermain di situ (saat amandemen),” paparnya.
Itu sebabnya praktik demokrasi kita dalam beberapa hal tertentu kebablasan, tak lagi sesuai dengan sila keempat Pancasila.
Keempat, kata Azyumardi Azra, untuk merekonstruksi dan menyeimbangkan lembaga negara, khususnya DPD RI.
“Boleh disebut DPD RI mengalami marginalisasi dalam keseimbangan Lembaga Tinggi Negara. Ada, tapi rasanya tak ada. Maka, harus diperkuat eksistensinya,” tegas dia.
Kendati begitu, Azyumardi Azra menilai harus ada arah ke mana arah amandemen akan dilakukan. Sebab, katanya, jika tak hati-hati bukan tak mungkin terjadi krisis konstitusional.
Bisa terjadi kekacauan dan kegaduhan politik. Maka pertama, kita harus menyepakati terlebih dahulu. Kesepakatan itu yang masuk akal, melalui proses politik fair dan adil.
“Jika dilihat saat ini, maka Konstitusi beserta Undang-Undang turunannya melahirkan oligarki yang luar biasa berkuasa,” tutur dia.
Sebagai contoh, proses legislasi yang terjadi pada tahun 2019-2020, di mana salah satunya adalah Omnibus Law.
“Proses yang terjadi antara DPR dan Presiden itu melanggar proses legislasi, sebagaimana telah ditetapkan oleh MK,” ujarnya.
Apalagi, kata dia, dengan koalisi besarnya Jokowi bisa melakukan apapun tanpa ada yang bisa membendung.
“Ini mencemaskan. Kalau Jokowi mau menjabat tiga kali bahkan seumur itu itu bisa dilakukan amandemen UUD. Kalau ada yang bisa mengalahkan tentu dirinya sendiri. Yang di luar koalisi tak bisa membendung. Saya kira harus ada kesepakatan gentle agreement, tidak berdasarkan kekuatan koalisi oligarkis,” tuturnya.
Selanjutnya, mengenai rekonstruksi sistem politik Indonesia, Azyumardi Azra menilai juga penting untuk dilakukan.
“Sebab, belakangan ini terjadi penguatan eksekutif. Kekuatannya luar biasa. Legislatif itu pelengkap saja. Desentralisasi yang susah payah diperjuangkan itu hilang tersentralisasi. Kalau perlu hapuskan Presidential Threshold. Itu terbukti menimbulkan pembelahan di masyarakat. Parliamentary Threshold juga ditinjau ulang karena membuka peluang oligarki politik di parlemen,” bebernya.
Narasumber lainnya, Prof Aidul Fitriciada menambahkan, Indonesia saat ini mengadopsi sistem presidensiil ala Amerika Serikat.
Berbeda dengan Malaysia yang menggunakan sistem politik berdasarkan kearifan lokal mereka.
“Pertanyaannya, ada tidak riset bahwa Indonesia tepat menggunakan sistem presidensiil? Tidak ada sama sekali. Indonesia hanya ada teori politik, tapi tidak ada penelitian komprehensif tentang hal itu,” papar dia.
Jika ditilik sistem politik kontemporer, Aidul menilai rata-rata sependapat dengan amandemen konstitusi.
“Meski ada yang berpendapat amandemen terbatas, ada yang ingin kembali ke UUD 1945 dan ada pula yang ingin amandemen Konstitusi ke-5. Tapi ada juga yang tidak setuju karena dikhawatirkan akan mengembalikan sistem Orde Baru,” ungkapnya.
Aidul sependapat jika peran, fungsi dan kewenangan DPD RI harus diperkuat. “Saat ini kan DPR berperan sebagai legislator dan DPD RI sebagai co-legislator. DPD RI tak punya hak veto,” katanya.
Ma’mun Murod Al-Barbasy yang menjadi narasumber juga menilai DPD RI dalam posisi yang tak menguntungkan.
“DPD RI ringkih posisinya. Tidak ada fungsinya yang membuat DPD RI punya nyali kecuali sebagai pelengkap saja. Kalau konsisten bikameral, perkuat fungsi dan peran DPD RI,” tegas dia.
Dia juga menyoroti Presidential Threshold 20 persen.
“Harus dibongkar total, karena itu terlalu tinggi. Presidential Threshold itu wajah oligarki politik,” ujarnya.
Saat ini, ia melanjutkan, tidak ada kekuatan yang bisa dimungkinkan untuk mengubah persentase tinggi Presidential Threshold tersebut. “Partai cenderung ambil posisi aman. UU Pemilu tidak diubah karena kaitannya dengan ini,” tutur dia.
Presidential Threshold tak dipungkiri menimbulkan polarisasi di masyarakat. “Dua kali Pilpres memunculkan hal itu. Memicu pertentangan ideologis dan agama. Tapi ini jadi barang dagangan dan masyarakat terpolarisasi,” beber dia.
Presidential Threshold juga cenderung memunculkan koalisi pura-pura setiap kali Pilpres digelar.
“Ada kecenderungan memunculkan calon tunggal. Ketika semua partai berkoalisi dan menyisakan satu atau dua partai, secara aturan kalau dia tidak mau mencalonkan, maka di Pemilu berikutnya tak boleh ikut Pemilu. Ini kan lucu,” ujarnya.
Jika tak segera diubah, ia berpendapat Presidential Threshold akan memunculkan penguasa yang lalim. “Tinggal menunggu waktu saja,” ungkapnya.
Prof Siti Zuhro, narasumber lainnya, mengungkapkan hingga kini belum ada efektivitas pemerintahan dengan pemilu di tingkat nasional dan daerah yang dilaksanakan.
“Kita juga menyaksikan kebijakan yang dibuat pemerintah tidak seiring sejalan dengan daerah. Padahal, ini era yang harusnya harmonis dan sinergis. Kita bisa saksikan dengan kasat mata, utamanya saat pandemi ini. Apa yang salah dengan format pemilu kita? Mengapa pemilu demokratis tak kunjung menghasilkan pemerintah nasional, regional dan lokal yang sinergis dan harmonis?” tanya Siti Zuhro.
Menurut dia, hal itu terjadi lantaran adanya problematika dan distorsi yang terjadi dalam ketatanegaraan Indonesia.
“Pengalaman tahun 1945 dan 1998 itu kan diwarnai eksperimen. Eksperimen itu berdampak pada UU Pemilu, tarik menarik sistem kepartaian. Juga perubahan sistem politik kita,” kata dia.
Dikatakannya, hingga hari ini belum ada kesepakatan bangunan demokrasi di Indonesia.
“Demikian juga substansi UUD 1945 . Transisi politik dari sistem otoriter menuju demokrasi iu seharusnya kita jadikan momentum. Tapi momentum itu hilang. Ada inkoherensi dan inkonsistensi yang kita lihat dari waktu ke waktu,” tuturnya.
Dikatakannya, amandemen konstitusi, baik dalam segi proses dan lainnya menurut Siti Zuhro cenderung tambal sulam.
“DPD RI tidak digdaya. Semua imbas dari tidak tuntasnya sistem reformasi institusi,” ujarnya.
Menurut dia, saat ini konstitusi hanya mengatur sistem pemerintahan, tidak mengatur seleksi kepemimpinan nasional.
“Dia belum terlembaga. Semua terpilih melalui seleksi sejarah. Tidak ada keleluasaan publik mendorong calon yang diinginkannya. Semua didorong oleh oligarki melalui penunjukkan partai,” tutur Siti Zuhro.(*)