Jakarta, Indonesianews.co.id
Nama AGH Prof. Ali Yafie (untuk selanjutnya disingkat Ali Yafie), sudah saya kenal sejak masih duduk di Madrasah Tsanawiyah. Waktu itu sedang hangat-hangatnya dinamika Partai Politik menghadapi Pemilu pertama di era Orde Baru. Nama beliau tertera pada blanko kartu anggota partai Nahdlatul Ulama (NU), yang tersimpan seonggok di rumah, yang siap diedarkan kepada anggota baru NU. Kebetulan ayah sedang menduduki posisi sebagai salah satu Rais Syuriah NU di daerah kami, Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan. Di kartu itu tercetak nama Gurutta Ali Yafie sebagai Rois Syuriah NU Sulawesi Selatan.
Sekitar lima tahun kemudian, saya dapat melihat langsung dari dekat sosok beliau yang tenang berwibawa dan bersahaja, yaitu pada saat penerimaan gabungan mahasiswa baru IAIN (UIN) Alauddin Makassar di tahun 1971. Tutur kata beliau teratur jelas dan tegas. Penulis tidak sempat berinteraksi lebih jauh dengan beliau, karena penulis kuliah di Fakultas Adab, sementara beliau sehari-harinya beraktivitas sebagai Dekan Fakultas Ushuluddin. Tidak lama kemudian pada tahun itu juga, Pemilu pertama di era Orde Baru berlangsung, beliau berhasil terpilih menjadi Anggota DPR RI mewakili Partai NU. Beliau pun hijrah bersama keluarga ke Jakarta, termasuk puteranya, Helmi Ali Yafie.
Berita soal aktivitas DPR RI di Senayan hanya kami dengar melalui siaran radio, atau melalui Koran nasional yang tiba di Makassar sehari kemudian. Maklum siaran TVRI, satu-satunya pemancar TV waktu itu belum menjangkau luar Jawa. Berita yang paling heboh waktu itu ialah pembahasan Rancangan Undang Undang (RUU) Perkawinan. Terbetik berita bahwa sebagian anggota DPR RI ingin memangkas syariat Islam dari RUU tersebut. Penulis yakin Gurutta Ali Yafie dari NU bersama dengan wakil-wakil Partai Islam tetap kukuh mempertahankan nilai-nilai Syariat Islam dalam RUU tersebut. Semboyan Partai-partai pendukung Syariah adalah: langkahi mayat kami kalau ingin mengganggu Syariat Islam. Akhirnya, setelah melalui perdebatan yang cukup alot, RUU perkawinan disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 1 tentang Perkawinan pada tahun 1974.
Gurutta Ali Yafie adalah ulama yang berwawasan luas dan berpikir modern. Pada masa-masa itu, masih sangat jarang ulama jebolan pesantren yang mampu berinteraksi dengan universitas-universitas ternama di Jawa dan mancanegara. Gurutta Ali Yafie adalah salah satu di antaranya yang dapat duduk sejajar dengan Dr. Idham Chalid (Ketua Umum PBNU), KH. Ahmad Syaikhu (Ketua DPR RI), KH. Syaifuddin Zuhri, dan KH. Ahmad Dachlan. Di samping itu, Ali Yafie juga diketahui sangat berpengaruh di tengah masyarakat Islam. Suatu ketika, kalau tidak salah, di tahun 1995, untuk pertama kalinya sistem pemberangkatan Jemaah Haji Indonesia mengalami kekacauan, pemberangkatan tidak sesuai dengan nomor urut Kloter. Hal ini berkaitan dengan urusan Visa Haji dari Kedutaan Saudi Arabia yang amburadul, kadang Visa untuk suami-isteri, tidak bersamaan dan terpaksa terpisah kloter. Belum lagi pada waktu itu terjadi pendaftaran calon haji melebihi kuota, sehingga untuk pertama kalinya diterapkan istilah daftar tunggu, setahun baru berangkat. Sekarang daftar tunggu itu sudah mencapai puluhan tahun. Untuk mengantisipasi keributan dan kegaduhan di kalangan calon jemaah haji di Sulawesi Selatan, yang dapat memicu terjadinya gelombang demonstrasi besar-besaran, maka Pemda Sulawesi Selatan mengundang Gurutta Ali Yafie ke Makassar untuk menenangkan suasana.
Alhamdulillah usaha tersebut berhasil, suasana menjadi tenang dan terkendali.
Beliau adalah sosok ulama yang bersahaja, berkunjung ke daerah-daerah tidak membutuhkan pelayanan berlebihan. Pada tahun 1991 Majelis Ulama Sulawesi Selatan membuka program Pendidikan Kader Ulama (PKU), yang berlangsung hingga tahun 2000-an, dan melahirkan beberapa angkatan. Penulis sebagai Sekretaris Umum MUI Sulawesi Selatan waktu itu menjadi pengelola harian PKU, yang sangat diminati oleh alumni IAIN Alauddin dan Universitas Muslim Indonesia (UMI). Hampir semua alumni PKU tersebut berhasil lolos masuk Pascasarjana yang baru dibuka di IAIN Alauddin dan UMI Makassar. Suatu ketika, Penulis mengundang Gurutta Ali Yafie memberi kuliah umum tentang Fiqh. Beliau pun bersedia walaupun memperoleh fasilitas seadanya. Beliau dijemput dengan mobil kijang tua, tanpa menunjukkan ekspresi yang kurang puas.
Tak luput pula dari ingatan penulis, ketika organisasi massa (ormas) Daru’ Da’wah Wal Irsyad (DDI) akan melaksanakan Muktamar XVII (kalau tidak salah ingat) tahun 2000, sepeninggal Ketua Umumnya Al-Maghfurlahu AGH Ambo Dalle tahun 1996. AGH Dr. M. Sanusi Baco, sebagai Ketua Umum Sementara PB DDI, menunjuk Penulis sebagai Ketua Pelaksana Muktamar. Muktamar akan dibuka oleh Gubernur Sulawesi Selatan dan dihadiri oleh Gurutta Ali Yafie yang sudah tiba dari Jakarta. Jadwal Pembukaan Muktamar sedikit molor, menantikan kehadiran Gurutta. Adalah kekhilafan panitia, tidak mengkoordinasikan siapa yang menjemput Gurutta dari tempatnya menginap di Makassar. Masya Allah, semua peserta Muktamar termasuk Gubernur dan undangan dari Pemda, terkagum-kagum saat Gurutta tiba di lokasi, beliau turun dari mobil taksi penuh kesahajaan. Beliau adalah ulama besar, menghadiri pembukaan Muktamar ormas DDI yang didirikannya bersama AGH Ambo Dalle di tahun 1930-an, datang hanya dengan fasilitas taksi. Sementara para muridnya hadir dengan kendaraan lux pribadi.
Di balik kebersahajaannya itu, beliau sosok Ulama yang berintegritas, teguh, dan tegas. Pernah menjabat Rais ‘Am PBNU, sepeninggal KH. Ahmad Shiddiq (1991), tapi mengundurkan diri (1992), sebelum Muktamar 1994 karena tidak menyetujui PBNU pimpinan Alm. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menerima sumbangan Uang Judi SDSB dari Menteri Sudomo. Ia kemudian fokus di Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan menjabat Ketua Umum MUI 1998 sepeninggal KH. Hasan Basri. Pada tahun itu, gerakan reformasi bergulir, Presiden Soeharto berusaha bertahan dan mengundang sejumlah Tokoh berpengaruh dari ulama, militer, dan tokoh masyarakat guna memperoleh dukungan moril. Namun ketika Gurutta Ali Yafie diminta bicara mewakili para ulama yang hadir, sangat mengejutkan Presiden Soeharto, saat Ali Yafie dengan tegas menyatakan bahwa tuntutan reformasi sebenarnya adalah Bapak Presiden harus turun dari jabatan Presiden. Karuan saja Presiden Soeharto kehilangan semangat, dan beberapa hari kemudian, Pak Harto menyatakan mundur dari jabatan Presiden.
Pada Munas MUI 2001, saat Gus Dur sebagai Presiden, Gurutta terpilih kembali secara aklamasi sebagai Ketua Umum MUI, namun beliau menolak keras jabatan itu dan sengaja tidak datang menghadiri pelantikan. Kasak-kusuk para tokoh dan pejabat, bolak-balik membujuk beliau untuk menerima putusan Muktamar, tapi tidak berhasil meluluhkan tekadnya untuk menolak jabatan tertinggi di MUI itu. Munas MUI terpaksa melakukan pemilihan ulang Ketua Umum sampai terpilih KH. Sahal Mahfud menggantikan Gurutta pada posisi puncak MUI tersebut.
Pada tanggal 16 Oktober 2022 atau sekitar empat bulan sebelum Gurutta Ali Yafie wafat, penulis sempat bersilaturahim ke beliau. Beliau memang sudah lama tidak keluar rumah, dan saat itu pun saya diterima di pembaringan didampingi oleh putranya, Ust. Helmi Ali Yafie. Terlihat beliau masih sangat segar, kulit lengannya tidak keriput, masih tampak halus. Namun, minggu terakhir Februari dapat berita dari santri yang sering melayaninya, yakni Saddam Bakri dan Suaib Tahir bahwa beliau sedang menjalani perawatan intensif di RS Premier Bintaro. Berhubung sedang memiliki kegiatan padat, hingga beliau wafat pada tanggal 25 Februari 2023, penulis tidak sempat besuk beliau, bahkan juga tidak sempat menghadiri pemakamannya. Hanya pada acara takziahnya via online, penulis sempat memberi testimoni atas kebaikan-kebaikan beliau sepanjang penulis ketahui dan ingat. Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un. Selamat Jalan Gurunda, engkaulah Ulama bersahaja, berwibawa, tegas dan berintegritas. Semoga dari kalangan murid-muridmu dan anak-anak ideologismu kelak akan ada yang mewarisi keilmuan dan keluhuran budimu.