JAKARTA, indonesianews.co.id — Komisi Pemilihan Umum (KPU) menghadapi krisis setelah mengeluarkan Peraturan KPU Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota. Peraturan ini, yang dikenal dengan “PKPU Caleg Mantan Napi Koruptor”.
Padahal tujuan KPU menerbitkan peraturan ini adalah untuk menghadirkan caleg yang bersih dari masalah hukum, berkualitas, bersih, bebas korupsi, kolusi dan nepotisme [KKN] dan berintegritas.
“Tapi realitasnya peraturan ini justru dianggap kontroversial dan memicu polemik yang membelah pendapat publik antara yang pro dan kontra,” demikian temuan Diah Widyawati dalam disertasinya yang berjudul KPU Hadapi Krisis Terkait Caleg Mantan Napi Koruptor.
Di hadapan penguji, Diah Widyawati, mantan jurnalis yang kini tenaga ahli Humas KPU Pusat ini berhasil mempertahankan disertasinya dalam Sidang Terbuka Program Doktoral Komunikasi Sekolah Pasca Sarjana (SPS) Sahid di Aula Sekolah Pasca Sarjana Sahid, Jakarta, Senin,(26/8).
Sidang terbuka dipimpin Direktur Sekolah Pasca Sahid, Reikman DP Aritonang Ph.D dengan promotor Prof. Dr. Ahmad Shihabuddin, Co Promotor Dr. Heri Budianto. Bertindak selaku penyanggah Dr Mirza Rhonda, Dr Jamallulail, Dr Umaimah Wahid, dan Dr Dewi Widowati.
Atas keberhasilannya mempertahankan disertasinya tersebut, Diah Widyawati dinyatakan lulus dengan predikat sangat memuaskan.
Lebih lanjut Diah menerangkan, krisis KPU ini berdampak pada 3 hal, yakni ancaman terhadap legitimasi, perlawanan terhadap misi organisasi, dan buruknya persepsi publik dalam menilai organisasi.
KPU dituding telah melampaui kewenangannya, KPU tidak bisa membuat aturan yang menghilangkan hak mantan terpidana korupsi. Bahkan KPU dituduh sekadar mengikuti wacana publik yang sedang marah terhadap para koruptor.
“Puncak ketidakpercayaan masyarakat adalah judicial review di Mahkamah Agung dan wacana hak angket KPU oleh DPR. Situasi ini semakin memperlihatkan adanya krisis di tubuh KPU, dalam konteks ini komunikasi krisis,” paparnya.
Penelitian ini menggunakan Image Repair Theory untuk menganalisis respon organisasi ketika citra terancam.
Hasil penelitian, dari lima strategi komunikasi krisis, KPU menggunakan tipologi, yakni denial (simple denial, shift blame), evading responsibility (provocation, good intentions), reduce offensiveness (bolstering, minimization, differentiation, transendence, attack accuser).
Empat (4) tipologi yang tidak digunakan adalah defeasibility, accident, compensation, dan mortification.
“Kredibilitas institusi sangat penting, karena kredibilitas tidak terletak di dalam institusi, melainkan di benak para pemangku kepentingan dan publik. Persepsi mereka terhadap reputasi institusi mencerminkan kapabilitas institusi, kepercayaan, dan pada dasarnya reputasinya,” jelasnya.
KPU tidak melakukan mitigasi komunikasi krisis. Mitigasi komunikasi krisis adalah aspek penting sebagai langkah strategis yang diambil untuk meminimalkan dampak negatif krisis yang mungkin terjadi selama tahapan pemilu, mengingat kompleksitas dan sensitivitas proses pemilu melibatkan banyak pihak dan kepentingan politik, juga untuk menjaga public trust terhadap proses dan hasil pemilu.
“Jika selama ini mitigasi hanya dilakukan dalam hal teknis, maka peneliti memandang perlu untuk memasukkan mitigasi terkait komunikasi krisis pada setiap tahapan pemilu,” tegasnya.
Lebih lanjut dia menjelaskan, krisis yang dihadapi KPU akibat dikeluarkannya PKPU Caleg Mantan Napi Koruptor menunjukkan perlunya pendekatan yang lebih proaktif dalam mengelola krisis.
Studi ini merekomendasikan penambahan strategi mitigasi dalam teori komunikasi krisis, di mana mitigasi harus menjadi prioritas utama dalam urutan strategi yang digunakan.
Hal ini penting untuk meminimalisir dampak krisis dan mempertahankan kepercayaan publik selama tahapan pemilu yang kompleks dan sensitif.
Komunikasi Krisis KPU adalah peristiwa yang unik, antara lain bergesernya fokus dari niat awal terkait moral ke isu legalitas. Meskipun niat KPU menghadirkan caleg yang bersih, bebas dari rekam jejak korupsi, tapi diskursus berubah menjadi soal legalitas, bukan moralitas. KPU kemudian harus menghadapi kritik atas keputusan yang secara hukum tidak didukung, meskipun moral tujuannya jelas.
“Ada paradoks legitimasi, KPU yang mencoba menjaga integritas pemilu, justru kehilangan di mata sebagian publik dan institusi hukum. Ini adalah contoh dari paradoks legitimasi. Tindakan untuk meningkatkan etika politik caleg, justru berbalik menimbulkan keraguan terhadap kompetensi institusi itu sendiri,” ungkapnya.
Keunikan komunikasi krisis KPU lainnya, meskipun pemilu berjalan normal, tetapi krisis komunikasi terjadi di luar proses pemilu. Meskipun krisis ini terjadi, pemilu tetap berjalan tanpa hambatan besar, ini menunjukkan bahwa krisis di KPU ini bersifat persepsi dan wacana, bukan krisis operasional/teknikalitas. KPU dianggap berhasil secara teknis, tetapi gagal dalam mengelola komunikasi terkait isu moral dan hukum ini.
Krisis yang dialami KPU terkait peraturan caleg mantan koruptor pada Pemilu 2019 adalah krisis yang unik. Meskipun pemilu berjalan lancar, krisis ini mencerminkan ketegangan antara niat baik untuk menjaga integritas politik dan realitas hukum yang harus diikuti.
Krisis ini berdampak pada citra KPU, yang perlu diperbaiki melalui strategi komunikasi krisis yang tepat, seperti yang dianalisis menggunakan Teori Image Restoration Theory (IRT).