Yogyakarta – Gelombang reaksi terhadap pernyataan Presiden Jokowi yang mengakui presiden boleh memihak semakin memunculkan kekhawatiran akan stabilitas demokrasi.
Respons ini terutama berasal dari civitas akademika, termasuk UGM, UII, UI, UIN Sunan Kalijaga, dan kelompok aktivis pro-demokrasi.
Presiden Advokat Muda Indonesia, Musthafa, mengapresiasi langkah-langkah kritis dan demokratis yang diambil oleh civitas akademika. Dalam keterangan tertulis yang diterima pada Senin, 5 Februari, Musthafa menyatakan bahwa masyarakat yang sebelumnya menjadi silent majority akhirnya menyuarakan aspirasinya terhadap masa depan demokrasi di Indonesia.
“Kami melihat bahwa masyarakat yang selama ini menjadi silent majority akhirnya menyuarakan aspirasinya bahwa masa depan demokrasi di republik ini sedang tidak baik saja. Amanah UUD pasal 1 ayat 3 bahwa negara Indonesia berdasarkan negara hukum (rechtsstaat) bukan negara kekuasaan (machtsstaat),” jelas Musthafa, yang juga merupakan Tim Hukum dan Advokasi LBH Arya Wiraraja di Yogyakarta.
Lebih lanjut, Musthafa menambahkan bahwa reaksi masyarakat merupakan simbolik dan akumulasi dari berbagai kejadian terkini, termasuk aksi represif aparat terhadap warga Gunung Kidul yang menyampaikan pendapat saat Jokowi melintas. Selain itu, politisasi bantuan sosial dan kasus Aiman Wicaksono juga menjadi sorotan.
“Tentu kejadian tersebut tidak berdiri sendiri. Kami melihat respon alamiah dari masyarakat merupakan simbolik dan akumulasi dari kejadian yang terjadi akhir-akhir ini seperti aksi represifitas oleh oknum aparat kepada warga Gunung Kidul yang membentangkan spanduk saat Jokowi melintas sebagai ekspresi demokrasi, indikasi politisasi bansos, dan puncaknya kasus mantan aktivis dan wartawan Aiman Wicaksono,” ungkap Musthafa.
Ia juga mengajak seluruh lapisan masyarakat, terutama mahasiswa sebagai agen perubahan sosial, untuk menjaga marwah dan masa depan demokrasi di Indonesia. Musthafa berharap agar cita-cita Indonesia emas yang tercantum dalam UUD 1945 dapat terwujud. (Eka)