Jakarta, Indonesianews.co.id
Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) masih menjalani masa recovery di tengah badai COVID-19.
Ketua Umum Komunitas UMKM Naik Kelas Raden Tedy, mengatakan kondisi sekarang ini memang berbeda dibanding saat awal Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Dengan adanya pelonggaran (new normal) para pelaku UMKM bisa kembali melakukan aktivitasnya.
Walau demikian, dengan adanya pelonggaran tersebut, masih banyak para pelaku UMKM yang mau gulung tikar, akibat dampak pandemi COVID-19.
“Saat ini memang agak berkurang pembatasannya, tapi dampaknya tetap ada. Artinya kekhawatiran masyarakat untuk keluar, menahan diri untuk belanja, sehingga UMKM ini masih bermasalah,” ujar Raden Tedy saat berbincang di Jakarta, Kamis (3/3/2022).
Lebih jauh Tedy menjelaskan, selama dua tahun ini UMKM tersebut ada yang meningkat bagus dan ada pula yang mengalami kebangkrutan. Hal itu dibuktikannya melalui hasil survey yang dilakukannya. Dari hasil survey tersebut ia menyebut sebanyak 5,8 persen pelaku UMKM yang bangkrut setelah 2 tahun ini.
Angka tersebut berdasarkan hasil survey dari 1215 responden ibu-ibu pelaku UMKM dari berbagai daerah di Indonesia.
“Bahwa setelah dua tahun ini, UMKM itu ada yang meningkat bagus, ada bahkan usahanya bangkrut. Lebih kurang 5,8 persen yang mengalami kebangkrutan. Ini hasil survey dari 1215 responden dimana responden di dominasi kalangan ibu-ibu (pelaku UMKM) seluruh Indonesia. Dalam survey tersebut 5,8 persen sudah bangkrut setelah dua tahun ini,” paparnya.
Teddy menguraikan, pada awal COVID-19 pada tahun 2000 lalu, sebanyak 83 persen UMKM bangkrut. Tapi setelah dua tahun berlalu, per 1 Maret 2022, angkanya menjadi 5,8 persen UMKM yang bangkrut.
Menurutnya, selama proses dua tahun itu pemerintah akhirnya memberi kelonggaran. Terlebih pada saat memasuki masa new normal, dua tahun belakangan sudah banyak perbaikan-perbaikan dari pemerintah.
“Kalau dulu awal-awal COVID, hanya 17 persen UMKM yang bertahan. Tapi hari ini cukup banyak. Lebih kurang kalau UMKM yang meningkat penjualannya, justru di atas 50 persen itu ada 5,5 persen,” ujarnya.
Kemudian ada UMKM yang meningkat sampai 50 persen itu ada 9,7 persen, bahkan sudah ada 15,2 persen. Nah UMKM yang tidak berubah (stagnan) itu ada 18,6 persen.
Kata Tedy, UMKM yang paling banyak memiliki potensi gulung tikar adalah yang berkaitan dengan sektor pariwisata dan beberapa barang yang bukan kebutuhan pokok seperti handicraft.
“Paling parah itu di Bali, karena Bali mengandalkan pariwisata. Sektor pariwisata hampir semua habis gulung tikar. Misalnya kuliner yang ada di daerah pariwisata. Kemudian semacam handucraft barang yang tidak terlalu dibutuhkan seperti halnya furniture. Itu yang paling banyak terdampak,” ungkapnya.
Tedy mencontohkan di Kota Bandung yang merupakan salah satu Kota Wisata dimana pada hari Sabtu dan Minggu selalu ramai.
“Tapi pemerintah daerah membuat satu aturan, selain pelat ganjil genap (mobil – motor) hari Sabtu Minggu. Nah ini juga menjadi hambatan.” ucap Tedy.
Lebih lanjut ia mengatakan, sektor furniture, dan sektor yang banyak melakukan kegiatan ekspor itu juga terhambat.
“Salah satu faktornya container yang sampai hari ini kita kesulitan. Juga pembatasan dari negara luar, serta regulasi dari pihak kita.” terangnya.
Kendati demikian Tedy berharap kepada pemerintah untuk bisa serius mengembangkan UMKM.
“Perlu dilakukan bimbingan, kebijakan bukan pada pemerintah pusat saja. Pemerintah daerah juga harus mendukung UMKM. Karena beberapa daerah terbukti ekonominya membaik kalau dia lebih banyak mendukung UMKM. Karena pertumbuhan ekonomi kita 60 persen lebih dari UMKM,” pungkas Tedy.
Selama pandemi pemerintah telah mengeluarkan sejumlah kebijakan untuk menumbuhkan optimisme bagi para pelaku UMKM, diantaranya yaitu penyaluran program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), restrukturisasi kredit, mendorong pelaku UMKM untuk on board ke platform digital melalui Program Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia (Gernas BBI), mendorong perluasan ekspor produk Indonesia, mendorong pelaku UMKM dari sektor informal untuk bertransformasi ke sektor formal, dan mempermudah sektor perizininan, serta melalui UU Cipta Kerja diharapkan mampu memberikan kemudahan, pelindungan, dan pemberdayaan kepada pelaku usaha UMKM.