Ketua Majelis Hakim Minta Saksi Pelapor Tunjukkan Bukti Surat Hak Pakai Sementara Asli

Jakarta, Indonesianews.co.id 

Ketua Majelis Hakim Minta Saksi Pelapor Tunjukkan Bukti Surat Hak Pakai Sementara Asli, nomor: 75 tahun 1987 yang menjadi dasar klaim PT PFN. Selain itu, terungkap juga bahwa apa yang disampaikan Iwan Piliang, Direktur Pengembangan PT PFN dalam akun instagram @Iwanpiliangofficial terkait sengketa kepemilikan lahan antara ahli waris bek Musa dan PFN, dikatakan bahwa “…Di sisi lain pihak @transcorpgroup memakai stufio PFN di sana membayar sejak lama setiap bulan Rp 1 miliar ke oknum tersebut…” dan akun X @iwanpiliang7 yang mengatakan “…Lebih ajaib studio PFN di sana dipakai oleh Trans Corp, dan “anehnya” membayar Rp 1 miliar/ bulan, ke oknum diduga pencaplok lahan negara, juga lahan disewakan ke banyak kuliner oleh oknum….”, merupakan pandangan pribadi yang tidak mewakil PFN.

Penegasan ini disampaikan Tessa Elya Andiana W, Legal manager PT Produksi Film Negara (PFN) dalam kesaksiannya di Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta, Senin (21/4/2025). Sidang kriminalisasi terhadap Kolonel Inf. Eka Yogaswara di Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta itu, mulai memeriksa saksi pelapor Tessa Elya Andiana W, dan empat saksi lainnya.

Oditur militer mendakwa Eka dengan dakwaan melanggar Pasal 385 ayat (1) dan Pasal 167 (1) KUHP. Kolonel Inf. Eka Yogaswara, didakwa oleh Oditur Militer Tinggi, atas laporan Tessa Elya Andriana Wahyudi, selaku Legal Manager BUMN PT PFN, dengan tuduhan telah menyerobot lahan dan memasuki lahan tanpa izin dengan dasar kepemilikan Sertifikat Hak Pakai sementara.

Bagi Eka dan keluarga besarnya, tentu tuduhan ini terasa aneh dan janggal. Mengingat, lahan yang dimasuki itu milik engkong alias kakeknya sendiri, yang biasa dipanggil Bek Musa.

Dalam sidang yang digelar Senin (21/4/2025) siang hingga malam kemarin, sedianya dilakukan pemeriksaan terhadap enam orang saksi yang diajukan oleh oditur militer. Namun, satu saksi tidak hadir. Sementara pemeriksaan saksi pertama, sekaligus pelapor dalam sidang tersebut, sudah memakan waktu sekitar enam jam yang dimulai sejak jam 14 kurang 10 menit WIB. Sidang sempat di skors, karena saksi mengaku kakinya kaku kedinginan sekitar pukul 17 WIB. Kesempatan ini sekaligus dimanfaatkan oleh majelis hakim untuk mengizinkan para pihak istirahat, sholat ashar dan magrib sekaligus. Sidang dilanjutkan lagi, selepas sholat magrib.

Pada awal persidangan yang memeriksa saksi ini, penasehat hukum Eka, R Agus Yudi Sasongko mempertanyakan tentang surat tugas dari empat orang saksi yang mengaku sebagai karyawan PFN. Termasuk pada Tessa yang tidak memiliki bukti surat kuasa dengan kop surat dan stempel PFN yang diberikan oleh direkti PFN. Namun, pertanyaan ini ditolak oleh oditur dengan mengatakan bahwa saksi sebelumnya sudah diperiksa di Puspomad.

“Justru ini yang saya pertanyakan, mengapa sejak pemeriksaan di Puspomad, saksi tidak mempunyai surat kuasa dari direksi PT PFN. Bukankah dalam UU Perseroan Terbatas disebutkan bahwa direksi itu merupakan orang yang mewakili baik di dalam maupun di luar pengadilan,” ujar Sasongko.

Namun, perdebatan ini diakhiri dengan penolakan dari majelis hakim di Pengadilan Tinggi Militer II Jakarta yang dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Kolonel Kum Siti Mulyaningsih, S.H., M.H. Menurut Siti, pemeriksaan disini merupakan perkara pidana, dan bukan perdata.

“Jadi dalam hal ini majelis berpendapat, bahwa para saksi untuk memberikan keterangan pada kasus ini tidak perlu dilengkapi dengan surat kuasa,” ujar Siti.

Sasongko kemudian mengatakan, dalam UU PT tidak disebutkan bahwa status direksi yang mewakili baik di dalam maupun di luar pengadilan itu, tidak disebutkan apakah di pengadilan perdata ataupun pidana. “Apalagi, kasus ini menyangkut PFN sebagai perusahaan, saksi bertindak untuk dan atas nama PFN, jadi wajib saksi memiliki surat kuasa,” ujarnya.

Siti kembali menegaskan, bahwa dalam persidangan ini menggunakan pedoman Hukum Acara Pidana, jadi untuk pemeriksaan ini, UU tentang PT tidak harus diterapkan pada saksi untuk memiliki surat kuasa itu.

Masih di bagian awal persidangan, Tessa diminta menjelaskan ketenagakerjaannya di PFN. Ia mengawalinya sebagai Pegawai Kontrak Kerja Waktu Tertentu (PKWT) pada tahun 2019,

Dalam sidang ini, saksi tidak sedikit menjawab pertanyaan dengan lupa atau tidak tahu. Padahal, sebelumnya, dia dengan agak lancar dan tegas menjelaskan tentang kronologi konflik perdata tanah di Jalan Tendean 41 itu, saat ditanya oleh oditur. Namun, tampaknya mulai kesulitan menjawab ketika majelis hakim mulai bertanya. Kondisi yang hampir sama juga dilakukan Tessa saat menjawab pertanyaan dari penasehat hukum yang beberapa kali juga memperlihatkan sejumlah bukti kepada majelis hakim.

Pada saat oditur bertanya pun, saksi tidak segera bisa menjawab tentang isi putusan PK dan sempat salah yang kemudian diperbaiki oleh oditur.

“Maaf saya agak lupa, karena terlalu banyak putusannya,” ujar Tessa.

Kesaksian Tessa yang menyatakan Eka Yogawara tidak pernah memperlihatkan penetapan pengadilan terkait ahli waris yang sah. Kesaksian ini dibantah oleh Penasehat Hukum Eka dengan memperlihatkan bukti-bukti pada majelis hakim sebagai salah satu ahli waris Bek Musa yang sah, pemilik lahan Tenden 41.

Tessa juga menjawab tidak tahu, atas pertanyaan ketua majelis hakim saat ditanyakan tentang hubungan mantan Dirut PFN Eddy Noor dengan PFN saat ini.

“Saya tidak tahu, karena apa… kami kan posisinya manager jadi kami tidak berhubungan langsung,” ujar Tessa.

Kemudian ditanyakan lagi oleh ketua majelis hakim, apakah di PFN pernah ada pembahasan tentang mengapa Pak Eddy Noor ini memberikan pernyataan di depan notaris bahwa PFN memperoleh tanah itu tidak berdasarkan hukum, apaka ada pembahasan di kantor PFN.

“Untuk pembahasan di manajemen kami, mungkin tentu saja ada, namun yang bersangkutan tidak,” ujar Tessa.

Saat Ketua Majelis Hakim menanyakan lebih lanjut tentang apakah saksi tahu ada sebagian tanah di jalan Tendean 41 itu yang terkena proyek jalan tol, di jawab Tessa “kami tidak tahu.”

Pertanyaan Ketua Majelis Hakim tentang luas aset bangunan PFN yang ada di Jalan Tendean 41, juga dijawab “itu kurang lebih…kami tidak tahu” oleh Tessa.

Saat Tessa ditanya oleh hakim anggota tentang langkah hukum setelah memenangkan PK dan berkekuatan hukum tetap, apakah pernah mengajukan eksekusi ke pengadilan.

Ia menjawab, “dapat kami sampaikan, mungkin yang akan kami jelaskan adalah semasa kami bertugas di tahun 2019 sampai sekarang.”

Jadi tidak semasa saksi bertugas, jadi putusan itu sudah lama ya, lanjut hakim anggota. Kemudian ditanyakan lagi, selama putusan itu, apakah pernah PFN mengajukan permohonan eksekusi.

Kembali dijawab Tessa, “dapat kami sampaikan Yang Mulia, apabila yang dipertanyakan kami tidak tahu, karena kami belum bertugas. Namun dari cerita manajemen dan yang lain sebagainya sudah pernah, bahkan kami pun melakukan lagi ke pengadilan ini. Saat hasil konsultasi kami oleh petugas pengadilan menyatakan dalam hal ini PFN sebagai tergugat, sehingga secara konstruksi hukum tidak diperlukan lagi sita eksekusi.”

Hakim anggota kemudian mengatakan, kalau yang menguasai obyek sengketa terdakwa, harusnya diajukan eksekusi. Penjelasan dari PN Pusat itu betul, tetapi secara logika hukum, ketika ada gugatan, siapapun baik tergugat maupun penggugat, siapaun yang menguasai itu, harus diminta.

“Ini punyaku loh atas putusan ini,” ujar hakim anggota.

Kemudian dikatakan juga oleh hakim anggota, putusan pengadilan itu bukan berarti putusan langsung bisa dilaksanakan saja. “Nah kalau ada pihak-pihak yang mengaku ini adalah haknya, sehingga enggak mau keluar karena tidak ada teguran.”

Terkait langkah hukum lain yang ditanyakan oleh hakim anggota, Tessa mengatakan, bahwa atas arahan dari menteri BUMN melalui biro hukum, kemudian melaporkan terdakwa melalui tim kawal hukum BUMN.

Ketika hakim anggota menanyakan apakah saksi mengikuti perkembangan laporannya, dijawab oleh saksi “sangat mengikuti.”

Lalu dilanjutkan pertanyaan lagi oleh hakim anggota, mengapa kalau sangat mengikuti yang dilaporkan dua orang, namun yang dijadikan tersangka hanya satu orang. Tessa pun menjawab “kami tidak tahu.”

Hakim anggota kemudian menegaskan pada saksi, sebagai orang legal PFN mengapa tidak mengingatkan terdakwa dengan perintah eksekusi.

Hakim anggota yang lain juga mengingatkan saksi, jika tidak ada perintah eksekusi dan kalau pihak PFN ini secara arogansi masuk ke dalam, itu akan menjadi persoalan hukum yang baru.

Ketua Majelis Hakim Minta Saksi Pelapor Tunjukkan Bukti Surat Hak Pakai Sementara Asli, nomor: 75 tahun 1987 yang menjadi dasar klaim PT PFN. Selain itu, terungkap juga bahwa apa yang disampaikan Iwan Piliang, Direktur Pengembangan PT PFN dalam akun instagram @Iwanpiliangofficial terkait sengketa kepemilikan lahan antara ahli waris bek Musa dan PFN, dikatakan bahwa “…Di sisi lain pihak @transcorpgroup memakai stufio PFN di sana membayar sejak lama setiap bulan Rp 1 miliar ke oknum tersebut…” dan akun X @iwanpiliang7 yang mengatakan “…Lebih ajaib studio PFN di sana dipakai oeh Trans Corp, dan “anehnya” membayar Rp 1 miliar/ bulan, ke oknum diduga pencaplok lahan negara, juga lahan disewakan ke banyak kuliner oleh oknum….”, merupakan pandangan pribadi yang tidak mewakil PFN.

Penegasan ini disampaikan Tessa Elya Andiana W, Legal manager PT Produksi Film Negara (PFN) dalam kesaksiannya di Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta, Senin (21/4/2025). Sidang kriminalisasi terhadap Kolonel Inf. Eka Yogaswara di Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta itu, mulai memeriksa saksi pelapor Tessa Elya Andiana W, dan empat saksi lainnya.

Oditur militer mendakwa Eka dengan dakwaan melanggar Pasal 385 ayat (1) dan Pasal 167 (1) KUHP. Kolonel Inf. Eka Yogaswara, didakwa oleh Oditur Militer Tinggi, atas laporan Tessa Elya Andriana Wahyudi, selaku Legal Manager BUMN PT PFN, dengan tuduhan telah menyerobot lahan dan memasuki lahan tanpa izin dengan dasar kepemilikan Sertifikat Hak Pakai sementara.

Bagi Eka dan keluarga besarnya, tentu tuduhan ini terasa aneh dan janggal. Mengingat, lahan yang dimasuki itu milik engkong alias kakeknya sendiri, yang biasa dipanggil Bek Musa.

Dalam sidang yang digelar Senin (21/4/2025) siang hingga malam kemarin, sedianya dilakukan pemeriksaan terhadap enam orang saksi yang diajukan oleh oditur militer. Namun, satu saksi tidak hadir. Sementara pemeriksaan saksi pertama, sekaligus pelapor dalam sidang tersebut, sudah memakan waktu sekitar enam jam yang dimulai sejak jam 14 kurang 10 menit WIB. Sidang sempat di skors, karena saksi mengaku kakinya kaku kedinginan sekitar pukul 17 WIB. Kesempatan ini sekaligus dimanfaatkan oleh majelis hakim untuk mengizinkan para pihak istirahat, sholat ashar dan magrib sekaligus. Sidang dilanjutkan lagi, selepas sholat magrib.

Pada awal persidangan yang memeriksa saksi ini, penasehat hukum Eka, R Agus Yudi Sasongko mempertanyakan tentang surat tugas dari empat orang saksi yang mengaku sebagai karyawan PFN. Termasuk pada Tessa yang tidak memiliki bukti surat kuasa dengan kop surat dan stempel PFN yang diberikan oleh direkti PFN. Namun, pertanyaan ini ditolak oleh oditur dengan mengatakan bahwa saksi sebelumnya sudah diperiksa di Puspomad.

“Justru ini yang saya pertanyakan, mengapa sejak pemeriksaan di Puspomad, saksi tidak mempunyai surat kuasa dari direksi PT PFN. Bukankah dalam UU Perseroan Terbatas disebutkan bahwa direksi itu merupakan orang yang mewakili baik di dalam maupun di luar pengadilan,” ujar Sasongko.

Namun, perdebatan ini diakhiri dengan penolakan dari majelis hakim di Pengadilan Tinggi Militer II Jakarta yang dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Kolonel Kum Siti Mulyaningsih, S.H., M.H. Menurut Siti, pemeriksaan disini merupakan perkara pidana, dan bukan perdata.

“Jadi dalam hal ini majelis berpendapat, bahwa para saksi untuk memberikan keterangan pada kasus ini tidak perlu dilengkapi dengan surat kuasa,” ujar Siti.

Sasongko kemudian mengatakan, dalam UU PT tidak disebutkan bahwa status direksi yang mewakili baik di dalam maupun di luar pengadilan itu, tidak disebutkan apakah di pengadilan perdata ataupun pidana. “Apalagi, kasus ini menyangkut PFN sebagai perusahaan, saksi bertindak untuk dan atas nama PFN, jadi wajib saksi memiliki surat kuasa,” ujarnya.

Siti kembali menegaskan, bahwa dalam persidangan ini menggunakan pedoman Hukum Acara Pidana, jadi untuk pemeriksaan ini, UU tentang PT tidak harus diterapkan pada saksi untuk memiliki surat kuasa itu.

Masih di bagian awal persidangan, Tessa diminta menjelaskan ketenagakerjaannya di PFN. Ia mengawalinya sebagai Pegawai Kontrak Kerja Waktu Tertentu (PKWT) pada tahun 2019,

Dalam sidang ini, saksi tidak sedikit menjawab pertanyaan dengan lupa atau tidak tahu. Padahal, sebelumnya, dia dengan agak lancar dan tegas menjelaskan tentang kronologi konflik perdata tanah di Jalan Tendean 41 itu, saat ditanya oleh oditur. Namun, tampaknya mulai kesulitan menjawab ketika majelis hakim mulai bertanya. Kondisi yang hampir sama juga dilakukan Tessa saat menjawab pertanyaan dari penasehat hukum yang beberapa kali juga memperlihatkan sejumlah bukti kepada majelis hakim.

Pada saat oditur bertanya pun, saksi tidak segera bisa menjawab tentang isi putusan PK dan sempat salah yang kemudian diperbaiki oleh oditur.

“Maaf saya agak lupa, karena terlalu banyak putusannya,” ujar Tessa.

Kesaksian Tessa yang menyatakan Eka Yogawara tidak pernah memperlihatkan penetapan pengadilan terkait ahli waris yang sah. Kesaksian ini dibantah oleh Penasehat Hukum Eka dengan memperlihatkan bukti-bukti pada majelis hakim sebagai salah satu ahli waris Bek Musa yang sah, pemilik lahan Tenden 41.

Tessa juga menjawab tidak tahu, atas pertanyaan ketua majelis hakim saat ditanyakan tentang hubungan mantan Dirut PFN Eddy Noor dengan PFN saat ini.

“Saya tidak tahu, karena apa… kami kan posisinya manager jadi kami tidak berhubungan langsung,” ujar Tessa.

Kemudian ditanyakan lagi oleh ketua majelis hakim, apakah di PFN pernah ada pembahasan tentang mengapa Pak Eddy Noor ini memberikan pernyataan di depan notaris bahwa PFN memperoleh tanah itu tidak berdasarkan hukum, apaka ada pembahasan di kantor PFN.

“Untuk pembahasan di manajemen kami, mungkin tentu saja ada, namun yang bersangkutan tidak,” ujar Tessa.

Saat Ketua Majelis Hakim menanyakan lebih lanjut tentang apakah saksi tahu ada sebagian tanah di jalan Tendean 41 itu yang terkena proyek jalan tol, di jawab Tessa “kami tidak tahu.”

Pertanyaan Ketua Majelis Hakim tentang luas aset bangunan PFN yang ada di Jalan Tendean 41, juga dijawab “itu kurang lebih…kami tidak tahu” oleh Tessa.

Saat Tessa ditanya oleh hakim anggota tentang langkah hukum setelah memenangkan PK dan berkekuatan hukum tetap, apakah pernah mengajukan eksekusi ke pengadilan.

Ia menjawab, “dapat kami sampaikan, mungkin yang akan kami jelaskan adalah semasa kami bertugas di tahun 2019 sampai sekarang.”

Jadi tidak semasa saksi bertugas, jadi putusan itu sudah lama ya, lanjut hakim anggota. Kemudian ditanyakan lagi, selama putusan itu, apakah pernah PFN mengajukan permohonan eksekusi.

Kembali dijawab Tessa, “dapat kami sampaikan Yang Mulia, apabila yang dipertanyakan kami tidak tahu, karena kami belum bertugas. Namun dari cerita manajemen dan yang lain sebagainya sudah pernah, bahkan kami pun melakukan lagi ke pengadilan ini. Saat hasil konsultasi kami oleh petugas pengadilan menyatakan dalam hal ini PFN sebagai tergugat, sehingga secara konstruksi hukum tidak diperlukan lagi sita eksekusi.”

Hakim anggota kemudian mengatakan, kalau yang menguasai obyek sengketa terdakwa, harusnya diajukan eksekusi. Penjelasan dari PN Pusat itu betul, tetapi secara logika hukum, ketika ada gugatan, siapapun baik tergugat maupun penggugat, siapaun yang menguasai itu, harus diminta.

“Ini punyaku loh atas putusan ini,” ujar hakim anggota.

Kemudian dikatakan juga oleh hakim anggota, putusan pengadilan itu bukan berarti putusan langsung bisa dilaksanakan saja. “Nah kalau ada pihak-pihak yang mengaku ini adalah haknya, sehingga enggak mau keluar karena tidak ada teguran.”

Terkait langkah hukum lain yang ditanyakan oleh hakim anggota, Tessa mengatakan, bahwa atas arahan dari menteri BUMN melalui biro hukum, kemudian melaporkan terdakwa melalui tim kawal hukum BUMN.

Ketika hakim anggota menanyakan apakah saksi mengikuti perkembangan laporannya, dijawab oleh saksi “sangat mengikuti.”

Lalu dilanjutkan pertanyaan lagi oleh hakim anggota, mengapa kalau sangat mengikuti yang dilaporkan dua orang, namun yang dijadikan tersangka hanya satu orang. Tessa pun menjawab “kami tidak tahu.”

Hakim anggota kemudian menegaskan pada saksi, sebagai orang legal PFN mengapa tidak mengingatkan terdakwa dengan perintah eksekusi.

Hakim anggota yang lain juga mengingatkan saksi, jika tidak ada perintah eksekusi dan kalau pihak PFN ini secara arogansi masuk ke dalam, itu akan menjadi persoalan hukum yang baru.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *